Etika dan Moral dalam Pendidikan
Jasmani menuju Olahraga Prestasi
Johansyah Lubis[1]
Abstrak:
Salah satu masalah
penting dalam kehidupan di tanah air ini adalah etika dan moral, pendidikan
jasmani dan olahraga sebagai salah satu sarana pendidikan anak memberikan suatu
pengayaan dalam etika dan moral di masyarakat. Mengajarkan etika dan nilai
moral sebaiknya lebih bersifat contoh.Tindakan lebih baik baik dari kata-kata.
Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan,
kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi.
Kata-kata kunci: Etika, Pendidikan
Jasmani, Olahraga
Pendidikan Jasmani merupakan bagian
integral dari pendidikan secara keseluruhan, sehingga pendidikan jasmani
memiliki arti yang cukup representatif dalam mengembangkan manusia dalam
persiapannya menuju manusia Indonesia
seutuhnya.
Pendidikan jasmani di Indonesia memiliki tujuan kepada keselarasan
antara tubuhnya badan dan perkembangan jiwa, dan merupakan suatu usaha untuk
membuat bangsa indonesia
yang sehat lahir dan batin, diberikan kepada segala jenis sekolah. (UU no 4 th
1950, ttg dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah bab IV pasal 9)
Pendidikan jasmani mempunyai tujuan
pendidikan sebagai (1) perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan kesehatan
dan kebugaran jasmani, 2) perkembangan neuro muskuler, 3) perkembangan mental
emosional, 4) perkembangan sosial dan 5) perkembangan intelektual.
Tujuan akhir olahraga dan pendidikan
jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan
sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang
baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebajikan moral
seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna (Baron Piere de
Coubertin)
Uraian di atas memperjelas bahwa
pendidikan jasmani dan olahraga merupakan ‘alat’ pendidikan, sekaligus
pembudayaan. Proses ini merupakan sebuah syarat yang memungkinkan manusia mampu
terus mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai manusia.
Pendidikan adalah segenap upaya yang
mempengaruhi pembinaan dan pembentukkan kepribadian, termasuk perubahan
perilaku, karena itu pendidikan jasmani dan olahraga selalu melibatkan dimensi
sosial, disamping kriteria yang bersifat fisikal yang menekankan ketrampilan, ketangkasan
dan unjuk “kebolehan’. Dimensi sosial ini melibatkan hubungan antar orang,
antar peserta didik sebagai sebagai fasilitator atau pengarah.
Kondisi saat ini ketika masyarakat
Indonesia menghadapi permasalahan perekonomian yang berkepanjangan, tidak
terlepas dari etika dan moral bangsa yang sudah ‘bobrok’, budaya bangsa yang
luhur mulai telah terkikis sedikit demi sedikit. Anak banyak yang tidak
menghargai gurunya bahkan orang tuanya.
Fenomena dalam pendidikan jasmani saat
ini, banyak anak yang enggan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani karena
terkesan membosankan dan menjemukan.
Masalah moral di Amerika menjadi salah
satu isu pendidikan yang diangkat dalam membentuk manusia Amerika, mengingat
orang Amerika pernah terkejut pada awal 1985 ketika mereka mengetahui bahwa
pemenang medali cabang balap sepeda pada Olimpiade yang berasal dari USA
mengakui telah mendoping darah sebelum kompetisi. Ditambah lagi 86 atlet
Amerika dari berbagai cabang gagal melewati tes obat-obatan yang diadakan oleh
Komite Olahraga Amerika Serikat, sembilan bulan sebelum pertandingan pada tahun
1984. Belum lagi kasus kematian pelari Belanda di Universitas Amerika membawa
pada penemuan secara tidak sengaja tentang penggunaan secara luas resep obat
yang didapatkan secara ilegal oleh atlet mahasiswa, yang disuplai oleh pelatih
kampus.
Pendidikan jasmani dan olahraga adalah
laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani
menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan mengembangan karakter. Pengajaran
etika dalam pendidikan jasmani biasanya dengan contoh atau perilaku. Pengajar
tidak baik berkata kepada muridnya untuk memperlakukan orang lain secara adil
kalau dia tidak memperlakukan muridnya secara adil.
Selain dari pada itu pendidikan
jasmani dan olahraga begitu kaya akan pengalaman emosional. Aneka macam emosi
terlibat di dalamnya. Kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga yang berakar
pada permainan, ketrampilan dan ketangkasan memerlukan pengerahan energi untuk
menghasilkan yang terbaik.
Pantas rasanya jika kita setuju untuk
mengemukakan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan dasar atau alat
pendidikan dalam membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan kemampuan
cognitif, afektif dan psikomotor yang behavior dalam membentuk kemampuan
manusia yang berwatak dan bermoral.
Dalam tulisan ini akan lebih dibahas
tentang etika dan permasalahan dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Dengan
mencoba mengkomperkan dan menanalisis serta memyusun rekomendasi yang
memungkinkan dalam pengembangan pendidikan jasmani dan olahraga.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
agar paper ini lebih mengarah maka pembahasan akan lebih di fokuskan pada :
Bagaimana etika dalam pendidikan
jasmani dan olahraga?
Bagaimana pendidikan etika membentuk
manusia secara utuh?
Masalah tersebut akan dicoba dibahas
dalam tulisan ini dari segi teori dan analisis penjasnya.
Hakikat Etika
Istilah etika dan moral secara
etimologis, kata ethics berasal dari
kata Yunani, ethike yang berarti ilmu
tentang moral atau karakter. Studi tentang etika itu secara khas sehubungan
dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang semua kualitas mental dan
moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral berasal dari kata
Latin, mos dan dimaksudkan sebagai
adat istiadat atau tata krama. (Rusli Lutan)
Etika tidak mempunyai pretensi untuk
secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah
pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang dihasilkannya secara
langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan
kritis. (Franz Magnis Suseno,1989). Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah
sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak
berada di tingkat yang sama. Untuk memahami etika, maka kita harus memahami
moral.
Selanjutnya Suseno mengatakan bahwa
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak
memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai,
norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung
jawabab dan mau menyingkapkankan ke rancuan. Etika tidak membiarkan
pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat
moral yang dikemukakan di pertanggung jawabkan. Etika berusaha untuk
menjernihkan permasalahan moral.
Dalam etika mengembangkan diri, Orang
hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani tidak asing
baginya, yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung
jawab moral, estetis dan religius. Suatu usaha sangat berharga untuk menyusun
nilai-nilai dan menjelaskan makna bagi manusia dilakukan oleh Max Scheler
dikemukan sebagai berikut : Mengembangkan
diri, Melepaskan diri, menerima diri
Freeman menyebutkan bahwa etika
terkait dengan moral dan tingkah laku, menjelaskan aturan yang tepat tentang
sikap. Etika merupakan pelajaran dari tingkah laku ideal dan pengetahuan antara
yang baik dan buruk. Etika juga menggambarkan tindakan yang benar atau salah
dan apa yang harus orang lakukan atau tidak. Etika penting karena merupakan kesepakatan
pada kebiasan manusia, bagaimana modelnya, bagaimana ia menunjukkan
dirinya sendiri, dengan segala sisi baik
dan buruk.
Scott Kretchmar mengemukakan etika
mendasari tentang cara melihat dan mempromosikan kehidupan yang baik, tentang
mendapatkannya, merayakannya dan menjaganya. Etika terkait dengan nilai-nilai
pemeliharaan seperti kebenaran, pengetahuan, kesempurnaan, persahabatan dan
banyak nilai-nilai lainnya. Etika juga mengenai rasa belas kasih dan simpati,
tentang memastikan kehidupan baik berbagi dengan lainnya, etika terkait dengan
kepedulian terhadap yang lain, terutama yang tidak punya kedudukan atau
kekuatan yang diperlukan untuk melindungi diri mereka sendiri atau jalan
mereka.
Hakikat Moral
Istilah moral dikaitkan dengan motif,
maksud dan tujuan berbuat. Moral berkaitan dengan niat. Sedangkan etika adalah
studi tentang moral. Sedangkan menurut Freeman etika terkait dengan moral dan
tingkah laku. Lebih lanjut Scott Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai
tentang rasa belas kasih dan simpati-tentang memastikan kehidupan yang baik
berbagi dengan lainnya.
Suseno mengatakan bahwa moral selalu
mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma
moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan
manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada
norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Seperti
bola tidak boleh disentuh oleh pemain sepakbola, bila permainan berhenti maka
aturan itu sudah tidak berlaku.
Norma diatas merupakan norma khusus,
sedangkan norma umum ada tiga macam seperti : norma-norma sopan santun,
norma-norma hukum dan norma-norma moral. Norma sopan santun menyangkut sikap
lahiriah manusia. Namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral.
Norma hukum adalah norma yang dituntut
dengan tegas oleh masyarakat karena perlu demi keselamatan dan kesejahteraan
umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar, orang yang
melanggar hukum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sangsi. Tetapi norma hukum
tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi tuntutan suara hati,
demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun dihukum, hal itu
tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur
baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum.
Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan
seseorang, maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebab
penilaian moral selalu berbobot.
Perkembangan moral adalah proses, dan
melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang diterima
oleh masyarakat (Bandura, 1977). Pada dasarnya seseorang yang konsisten
menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang yang bermoral. Para ahli menerapkan apa yang disebut pendekatan “kantong
kebajikan” (Kohlberg, 1981), teori ini percaya bahwa seseorang mencontoh
perilaku orang lain sebagai model atau tauladan yang ia nilai memiliki
sifat-sifat tertentu atau yang menunjukkan perilaku berlandasan nilai yang
diharapkan.
Untuk memahami moral Kohlberg (1981)
dan Rest (1986) menyatakan bahwa pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap
motivasi dan perilaku namun memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan
erat pada empati, emosi, rasa bersalah, latar belakang sosial, pengalaman.
Suseno melihat terdapat tiga prinsip
dasar dalam moral, yaitu prinsip sikap
baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri.
Prinsip sikap baik dimana prinsip ini
mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain, dimana sikap yang dituntut
dari kita adalah jangan merugikan siapa saja. Prinsip bahwa kita harus
mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat
mungkin mencegah akibat buruk dari tindakan.
Prinsip keadilan dimana keadilan tidak
sama dengan sikap baik, demi menyelamatan gol dari serangan lawan, pemain belakang
menahan dengan tangan, hal itu tetap tidak boleh dengan alasan apapun, berbuat
baik dengan melanggar hak pihak lain tidak dibenarkan.
Prinsip hormat terhadap diri sendiri
mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai suatu yang
bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia
adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan
suara hati, mahluk berakal budi.
Bagaimana kita
mengajarkan etika dan nilai moral
Dalam mengajarkan etika dan nilai
moral sebaiknya lebih bersifat contoh, pepatah mengatakan bahwa tindakan lebih
baik baik dari kata-kata. Lutan mengatakan Nilai Moral itu beraneka macam,
termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas,
keadilan, kooperasi, tugas dll. Lebih lanjut dikatakan ada 4 nilai moral yang
menjadi inti dan bersifat universal yaitu :
1.
Keadilan.
Keadilan
ada dalam beberapa bentuk ; distributif, prosedural, retributif dan kompensasi.
Keadilan distributif berarti keadilan
yang mencakup pembagian keuntungan dan beban secara relatif. Keadilan prosedural mencakup persepsi
terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi
yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi
mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita
pada waktu sebelumnya.
Seorang
wasit bila ragu memutuskan apakah pemain penyerang berada pada posisi off-side
dalam sepakbola, ia minta pendapat penjaga garis. Semua pemain penyerang akan
protes, meskipun akhirnya harus dapat menerima, jika misalnya wasit dalam kasus
lainnya memberikan hukuman tendangan penalti akibat pemain bertahana menyentuh
bola dengan tanganya, atau sengaja menangkap bola di daerah penalti. Tentu saja
ia berusaha berbuat seadil mungkin. Bila ia kurang yakin, mungkin cukup dengan
memberikan hukuman berupa tendangan bebas.
2.
Kejujuran.
Kejujuran
dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu
terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud
dalam tindak dan perkataan.
Semua
pihak percaya bahwa wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan membuat
keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.
3. Tanggung Jawab.
Tanggung
jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung
jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus
bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri.
Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga.
4. Kedamaian
Kedamaian
mengandung pengertian : a)tidak akan menganiaya, b)mencegah penganiayaan, c)
menghilangkan penganiaan, dan d)berbuat baik. Bayangkan bila ada pelatih yang
mengintrusksikan untuk mencederai lawan agar tidak mampu bermain?
Freeman dalam
buku Physical Education and Sport in A cahanging Society menyarankan 5 area
dasar dari etika yang harus diberikan yaitu : 1) Keadilan dan persamaan, 2)
Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap yang lain, 4)
Menghormati peraturan dan kewenangan , 5) Rasa terhadap perspektif atau nilai
relatif. (Freeman,2001;210)
1.
Keadilan
dan Persamaan
Anak
didik atau atlet adalah mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak didik
ingin sebuah kesempatan untuk belajar yang sama. Seringkali anak didik yang di
bawah rata-rata dalam olahraga diabaikan.
2.
Respek
terhadap diri sendiri
Pelajar
atau atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif tentang
dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua anak
didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar anak
didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.
3.
Rasa
hormat dan kepedulian terhadap orang lain.
Pelajar
dan atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman sekelasnya,
lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar tentang
bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat.
4.
Menghormati
peraturan dan kewenangan
Pelajar
dan atlet perlu menghormati kewenangan dan peraturan, karena tanpa kedua hal
ini suatu perhimpunan tidak akan berfungsi
5.
Rasa
terhadap perspektif atau nilai relatif
Beberapa
pertanyaan tentang gunanya berolahraga perlu dipertimbangkan diantaranya ; a)
seberapa penting olahraga, b) apakah hubungan yang tepat antara olahraga dalam
filosofi pendidikan kita?,c)Seberap penting suatu kemenangan dan d) apa yang
menjadi integritas akademik kita?
Pendidik jasmani dalam proses
pendidikan sebaiknya mengembangkan karakter, karakter menurut David Shield dan
Brenda Bredemeir adalah empat kebajikan dimana seseorang mempunyai karakter
bagus menampilkan ; compassion (rasa
belas kasih), fairness (keadilan), sportsmanship (ketangkasan) dan integritas.
Dengan adanya rasa belas kasih, murid
dapat diberi semangat untuk melihat lawan sebagai kawan dalam permainan,
sama-sama bernilai, sama-sama patut menerima penghargaan. Keadilan melibatkan
tidak keberpihakan, sama-sama tanggung jawab. Ketangkasan dalam olahraga
melibatkan berusaha secara intens menuju sukses. Integritas memungkinkan
seseorang untuk membuat kesalahan pada yang lain, sebagai contoh meskipun
tindakannya negatif penerimannya oleh wasit, teman satu tim ataupun fans.
Hakikat Olahraga dan Penjas
Filsafat olahraga, seperti filsafat
lainnya, dalam olahraga ada beberapa konsep yang perlu dikaji dan dipahami
secara mendalam. Konsep ini bersifat abstrak yaitu ‘mental image’. Walau kita
tahu bahwa konsep ini abstrak, tetapi didalam konsep ini ada makna tertentu,
walau perbedaan makna pada setiap individu berbeda-beda tentang ini.
Konsep dasar tentang keolahragaan
beragam, seperti bermain (play),
Pendidikan jasmani (Physical education),
olahraga (Sport), rekreasi (recreation), tari (dance).
Bermain (play) adalah fitrah manusia yang hakiki sebagai mahluk bermain (homo luden), bermain suatu kegiatan yang
tidak berpretensi apa-apa, kecuali sebagai luapan ekspresi, pelampiasan
ketegangan, atau peniruan peran. Dengan kata lain, aktivitas bermain dalam nuansa
riang dan gembira.
Dalam bermain terdapat unsur
ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang
sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa
wasitpun permainan anak-anak terlihat belum tercemar.
Dalam bermain terdapat unsur
ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang
sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa
wasitpun permainan anak-anak terlihat menyenangkan
dan gembira ini merupakan bentuk permainan yang belum tercemar.
Dalam bermain pendidikan etika yang
ada tidak mengenal pada suatu ajaran tertentu, karena anak bermain tidak
melihat sisi religius teman dan bentuk permainan, karena tidak ada aturan dalam
hal religus dalam bentuk permainan, pendidikan etika disini yang membetuk
manusia yang baik dan kritis, sehingga proses pemberian pembelajarannya lebih
bersifat mengembangkan daya pikir kritis
dengan mengamati realitas kehidupan.
Seperti melihat harimau, maka anak
akan meniru gaya
harimau yang menerkam mangsa, simangsa sudah tentu adalah teman sepermainnya.
Temannya akan berjuang mempertahankan dengan bergelut.
Bermain dalam alam anak memberikan
konsep anak bertanggung jawab terhadap permainan tersebut. Ketika terjadi
“perselisihan” maka tanggung jawab anak terhadap permainan ini membantu dalam
pengembangan moralnya.
Olahraga (sport) yang merupakan kegiatan otot yang energik dan dalam kegiatan
itu atlet memperagakan kemampuan geraknya (performa) dan kemauannya semaksimal
mungkin, akan tetapi perkembangan teknologi memungkinkan faktor mesin menjadi techno-sport, seperti balap mobil, balap
motor, yang banyak tergantung dengan faktor mesin.
Olahraga bersifat netral dan umum,
tidak digunakan dalam pengertian olahraga kompetitif, karena pengertiannya
bukan hanya sebagai himpunan aktivitas fisik yang resmi terorganisasi (formal)
dan tidak resmi (informal).
Pendidikan jasmani pada dasarnya
bersifat universal, berakar pada pandangan klasik tentang kesatuan erat antara
“body and mind”, Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan
melalui aktivitas jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan individu secara
organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional.
Konsep pendidikan jasmani terfokus
pada proses sosialisasi atau pembudayaan via aktifitas jasmani, permainan dan
olahraga. Proses sosialisasi berarti pengalihan nilai-nilai budaya, perantaraan
belajar merupakan pengalaman gerak yang bermakna dan memberi jaminan bagi
partisipasi dan perkembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Perubahan
terjadi karena keterlibatan peserta didik sebagai aktor atau pelaku melalui
pengalaman dan penghayatan secara langsung dalam pengalaman gerak sementara
guru sebagai pendidik berperan sebagai “pengarah” agar kegiatan yang lebih
bersifat pendeawsaan itu tidak meleset dari pencapaian tujuan.
Pengajaran Etika dalam pendidikan jasmani
Kita telah menyadari bahwa pendidikan
jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, oleh sebab
itu guru pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan etika dan nilai dalam
proses belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untuk membentuk karakter
anak.
Karakter anak didik yang dimaksud
tentunya tidak lepas dari karakter bangsa Indonesia serta kepribadian utuh
anak, selain harus dilakukan oleh setiap orangtua dalam keluarga, juga dapat
diupayakan melainkan pendidikan nilai di sekolah. Saran yang bisa diangkat
yaitu :
- Seluruh suasana dan iklim di sekolah sendirii sebagai lingkungan sosial terdekat yang setiap hari dihadapi, selain di keluarga dan masyarakat luas, perlu mencerminkan penghargaan nyata terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang mau diperkenalkan dan ditumbuhkembangkan penghayatannya dalam diri peserta didik. Misalnya, kalau sekolah ingin menanamkan nilai keadilan kepada para peserta didik, tetapi di lingkungan sekolah itu mereka terang-terangan menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan, maka di sekolah itu tidak tercipta iklim dan suasana yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai. (Seperti praktek jual-beli soal, mark up nilai, pemaksaan pembelian buku dsb)
- Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau sikap keteladanan mereka dalam menghayati nilai-nilai yang mereka ajarkan akan dapat secara instingtif mengimbas dan efektif berpengaruh pada peserta didik. Sebagai contoh, kalau guru sendiri memberi kesaksikan hidup sebagai pribadi yang selalu berdisiplin, maka kalau ia mengajarkan sikap dan nilai disiplin pada peserta didiknya, ia akan lebih disegani.
- Semua pendidik di sekolah, terutama para guru pendidikan jasmani perlu jeli melihat peluang-peluang yang ada, baik secara kurikuler maupun non/ekstra kurikuler, untuk menyadarkan pentingnya sikap dan perilaku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Misalnya sebelum pelajaran dimulai, guru menegaskan bila anak tidak mengikuti pelajaran karena membolos, maka nilai pelajaran akan dikurangi.
- Secara kurikuler pendidikan nilai yang membentuk sikap dan perilaku positif juga bisa diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri, misalnya dengan pendidikan budi pekerti. Akan tetapi penulis tidak menyarankan untuk di lakukan.
- Melalui pembinaan rohani siswa, melalui kegiatan pramuka, olahraga, organisasi, pelayanan sosial, karya wisata, lomba, kelompok studi, teater, dll. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut para pembina melihat peluang dan kemampuannya menjalin komunikasi antar pribadi yang cukup mendalam dengan peserta didik.
Kesimpulan
Penulis mencoba merekomendasikan
beberapa hal tentang pendidikan nilai dalam pendidikan jasmani berdasarkan latar
belakang dan teori, diantaranya :
- Pendidikan etika konsepnya bersifat abstrak, sehingga pemberiannya harus lebih banyak pada perilaku dan contoh-contoh yang konstruktif.
- Pendidikan jasmani sebagai alat pendidikan mempercepat anak dalam mengembangkan konsep tentang moral.
- Mengamati realitas moral secara kritis, akan lebih dekat pada bentuk permainan, dimana mengamati realitas moral merupakan pendidikan etika.
- Dalam permainan compassion, fairness, spormanship dan integritas sangat lekat didalamnya sehingga mampu memberikan konsep pendidikan etika di dalamnya.
- Dukungan lingkungan sekolah dan masyarakat harus dijaga untuk menjaga iklim lingkungan sosial yang baik, agar mendukung pendidikan etika dan nilai.
- Guru pendidikan jasmani dapat mengajarkan nilai dan etika diluar jam pelajaran, terutama saat ektra kurikuler, kegiatan pramuka, organisasi klub olahraga sekolah dengan melihat peluang yang tepat dalam pendekatan individu.
- Membuat mata pelajaran tentang budi pekerti, tetapi hal ini perlu pembicaraan sesama seksama.
DAFTAR PUSTAKA
Franz
Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat
moral. Yogyakarta:
Perc. Kanisius, 1987.
_________________,
(2000), Kuasa & Moral. Jakarta:
Gramedia Pustaka
Utama.
Ikhwanuddin
Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru,
70 tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar,
M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.
Richard
Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher,
Australia: Printice hall.
Rusli
Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat
Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen
OR, Depdiknas, Jakarta:
CV.
Berdua Satutujuan.
Sutan
Zanti dan Syahniar Syahrun, (1993) Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta:
Dirjeb Pend. Tinggi.
William
H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a
changing
society. Boston: Allyn & Bacon.
Wendy
Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education.
New
York:
Routledge.
[1]Johansyah Lubis, Adalah Dosen
Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta. Dan Ketua Komisi Pembibitan dan
pemanduan Bakat KONI Pusat 2007 - 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar